Mediaolahraga, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, perusahaan tekstil ternama di Indonesia, kini tengah berada dalam krisis berat. Beban utang perusahaan ini mencapai angka fantastis, yaitu Rp 25 triliun. Kondisi tersebut membuat Sritex semakin terpuruk dan kesulitan beroperasi secara optimal.
Utang Menumpuk dan Bebani Kinerja
Berdasarkan laporan terbaru, utang sebesar Rp 25 triliun berasal dari berbagai pinjaman perbankan dan obligasi yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Manajemen Sritex menghadapi tekanan besar karena arus kas perusahaan tidak cukup untuk menutupi kewajiban pembayaran. Situasi ini membuat operasional perusahaan terganggu, dengan beberapa pabrik bahkan terpaksa mengurangi kapasitas produksi.
“Kami sedang mencari solusi terbaik agar bisa melunasi kewajiban dan tetap beroperasi,” ungkap salah satu sumber internal Sritex yang enggan disebutkan namanya.
Dampak Langsung ke Operasional
Krisis ini membuat Sritex harus melakukan berbagai efisiensi, termasuk menunda beberapa proyek dan mengurangi jumlah pekerja. Beberapa vendor juga melaporkan keterlambatan pembayaran, yang memperburuk hubungan bisnis perusahaan dengan mitra pemasok bahan baku.
Seorang pekerja di salah satu pabrik mengungkapkan, “Kami khawatir dengan kondisi perusahaan. Gaji dan tunjangan sering telat, dan ada kabar pemutusan hubungan kerja dalam waktu dekat.”
Faktor Penyebab Utang Membengkak
Utang Sritex tidak muncul dalam semalam. Para analis menilai masalah ini muncul karena ekspansi agresif perusahaan pada beberapa tahun terakhir. Sritex menggelontorkan banyak dana untuk membuka pabrik baru dan memperluas pasar ekspor. Sayangnya, pandemi COVID-19 dan penurunan permintaan global membuat strategi ini justru menjadi beban berat.
Selain itu, fluktuasi mata uang asing dan kenaikan suku bunga membuat biaya pinjaman semakin tinggi. Beban keuangan yang meningkat mempersempit ruang gerak perusahaan untuk bertahan di tengah kondisi pasar yang masih lesu.
Upaya Restrukturisasi Belum Berbuah Hasil
Manajemen Sritex saat ini berusaha mencari jalan keluar dengan menawarkan restrukturisasi utang kepada kreditur. Namun, proses negosiasi berjalan alot, karena para kreditur menuntut kepastian pembayaran yang lebih jelas. Di sisi lain, beberapa investor mulai kehilangan kepercayaan, terlihat dari penurunan tajam harga saham Sritex di pasar modal.
“Kami tetap optimis bisa mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak,” kata salah satu perwakilan manajemen Sritex dalam keterangan resmi.
Masa Depan Sritex di Persimpangan
Krisis utang ini membuat masa depan Sritex berada di ujung tanduk. Jika restrukturisasi gagal dan perusahaan tak mampu memenuhi kewajibannya, ancaman kebangkrutan mungkin tak terhindarkan. Para pakar memperingatkan bahwa Sritex harus bergerak cepat untuk memperbaiki kondisi keuangan jika ingin bertahan di industri tekstil yang semakin kompetitif.
Sritex, yang dulu dikenal sebagai salah satu produsen tekstil terkemuka di Asia, kini harus berjuang keras untuk keluar dari krisis. Semua mata tertuju pada langkah-langkah strategis yang akan diambil perusahaan dalam waktu dekat.
Masalah utang ini menunjukkan bahwa ekspansi besar-besaran tanpa perhitungan matang bisa berbalik menjadi bumerang. Kini, Sritex harus membuktikan bahwa mereka masih punya kemampuan untuk bangkit dari krisis dan mempertahankan posisinya di industri tekstil.