Mediaolahraga, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjadi karena faktor teknikal di pasar. Ia menyatakan, penggeledahan Bank Indonesia (BI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memengaruhi pelemahan tersebut.
“Penggeledahan BI oleh KPK tidak menyebabkan pelemahan rupiah. Faktor utama pelemahan ini adalah kebijakan ekonomi Amerika Serikat dan sentimen pasar setelah kemenangan Donald Trump,” kata Misbakhun dalam pernyataan resminya, Kamis (19/12/2024).
Faktor yang Memicu Pelemahan Rupiah
Misbakhun menjelaskan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di Amerika Serikat menjadi pemicu utama melemahnya rupiah. Penurunan inflasi di AS dan keputusan pasar untuk mengantisipasi kebijakan di bawah pemerintahan Trump menimbulkan sentimen negatif terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
“Kebijakan fiskal dan moneter yang diambil pemerintah AS, termasuk pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed), menekan nilai tukar rupiah,” ujar Misbakhun.
Ia meminta Bank Indonesia segera mengambil langkah konkret melalui kebijakan operasi moneter untuk memperkuat nilai tukar. “Bank Indonesia harus fokus mengatasi pelemahan ini dengan strategi yang tepat,” tegasnya.
Rupiah Terus Melemah
Rupiah kembali melemah 215 poin pada Kamis sore (19/12/2024), ditutup pada level Rp16.312 per USD setelah sebelumnya menyentuh level Rp16.500 per USD. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memprediksi rupiah masih akan bergerak fluktuatif pada rentang Rp16.300 hingga Rp16.370 di perdagangan berikutnya.
Ibrahim menjelaskan bahwa The Fed telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25-4,50 persen. Namun, pasar mulai mengantisipasi perlambatan pemangkasan suku bunga pada tahun 2025. “Pasar memperkirakan hanya akan terjadi dua pemangkasan lagi di 2025,” katanya.
Dampak ke Dunia Usaha
Pelemahan rupiah menambah beban sektor usaha yang bergantung pada impor. Ketua Komite Kebijakan Ekonomi Apindo, Aviliani, menyebutkan bahwa biaya operasional naik signifikan akibat mahalnya harga impor.
“Bisnis yang menggunakan banyak bahan impor langsung merasakan dampaknya. Biaya impor yang tinggi membuat mereka kehilangan daya saing,” jelas Aviliani dalam konferensi pers di Jakarta.